Oleh: Danang Probotanoyo
Entah apa yang ada dibenak para wakil rakyat yang ada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saat ini. Di tengah gencarnya pemberitaan kondisi sosial ekonomi negara dan masyarakat yang kurang menguntungkan, mereka justru menggulirkan dana aspirasi. Tak tanggung-tanggung, para anggota dewan mengusulkan dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota, alias Rp 11,2 triliun setiap tahunnya. Alih-alih berupaya keras agar “image” DPR membaik di mata publik, justru mereka semakin membuat masyarakat jengah.
Selama ini publik terlanjur memiliki penilaian minor kepada para wakilnya di Senayan itu. Dari data di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dinyatakan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup selama 5 tahun berturut-turut sejak tahun 2009-2013 (tahun 2012 dan 2013 terkorup bersama Kepolisian). Nama-nama seperti M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, Al Amien Nasution, Anas Urbaningrum hingga yang terakhir Sutan Batoegana, menjadi ikon laku koruptif wakil rakyat.
Begitupun persidangan di DPR yang seharusnya dijadikan ajang pembahasan nasib bangsa, nyatanya sering lengang ditinggal bolos anggotanya tanpa alasan yang jelas. Seperti pada Sidang Paripurna DPR, 20 Mei 2015, yang hanya dihadiri tidak sampai separuh dari 560 anggota. Padahal salah satu agenda terpenting saat itu mengenai RAPBN 2016. Bukan pemandangan baru pula bila kamera para wartawan kerap menangkap para wakil rakyat tengah tidur pulas di saat sidang. Belum lagi yang terkait fungsi dan tugas dewan dalam program legislasi nasional selalu tak memenuhi target, baik segi kuantitas maupun kualitas. Namun anehnya, semua itu tak jua membuat mereka malu. Segala hal yang tak patut itu tak kunjung diperbaiki.
Di tengah gambaran DPR RI yang serba “bopeng” tadi, mereka justru menyembulkan wacana dana aspirasi dengan jumlah fantastis. Padahal tanpa dana aspirasi pun, bila para anggota dewan di setiap pembahasan APBN mampu mengartikulasikan kemauan publik dan pemilihnya, otomatis APBN itu sendiri sudah merupakan wujud aspirasi rakyat. Secara garis besar usulan dana aspirasi itu sangatlah tidak tepat. Pertama, DPR bukanlah lembaga eksekutor yang bisa menggunakan anggaran negara untuk melakukan kegiatan terkait pembangunan. Bisa terjadi tumpang tindih fungsi, tugas dan wewenang antara legislatif dengan eksekutif. Kedua, terjadi modus praktik pork barrel (gentong babi) dimana anggota dewan berpamrih mendapat simpati publik namun dengan cara memakai uang negara. Mereka ingin terlihat bak “Sinterklas” yang membagi-bagi hadiah, dengan menggunakan dana APBN.
Syahwat “narsisme” anggota dewan tersebut tentu demi kelanggengan kursinya di Senayan. Itu bisa menjadi penghalang bagi calon-calon anggota dewan yang baru, yang mungkin lebih berkualitas. Mereka bakal kalah bersaing dengan muka-muka lama yang narsis tanpa modal sendiri.
“Narsisme” DPR rupanya juga menjangkiti anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Bila DPR meminta dana aspirasi, DPD meminta dibangunkan kantor di setiap daerah. Anggaran yang dipatok kisaran Rp. 20 milyar hingga Rp. 30 milyar per kantor atau total butuh sekitar Rp. 740 milyar! Artinya dana membangun sebuah gedung DPD di daerah bisa untuk membuat 2-3 rumah sakit daerah tipe sedang! Gedung semahal itu pun hanya akan sesekali ditempati anggota DPD yang jumlahnya cuma beberapa orang setiap daerahnya. Padahal diyakini bahwa anggota DPD akan lebih sering berada di Jakarta daripada di daerah. Belum lagi membicarakan soal dana operasional dan pemeliharaan gedung yang akan menguras budget. Tidakkah lebih efisien bila anggota DPD “dicangkokkan” pada setiap kantor DPRD yang sudah ada di daerah? Atau mungkin disewakan rumah sederhana sebagai kantor. Intinya bukan pada menterengnya kantor, tapi sejauh mana DPD mau dan mampu menyampaikan aspirasi rakyat di daerahnya, itu yang penting!
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM