Arsip untuk Mei, 2014

Lingkungan Hidup Tak Butuh Retorika

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Mei 2014

     Terjadi banjir dimana-mana. Jakarta, sebagian pantai utara Pulau Jawa hingga Manado tergenang air bak lautan. Puluhan ribu orang menjadi pengungsi, belasan lainnya meninggal, kerugian materi mencapai triliunan rupiah. Kita tak bisa semata-mata berdalih ini akibat cuaca, ini bencana ekologis! Alam telah kita eksploitasi secara serampangan. Hutan ditebangi pohonnya, situ dan rawa kita urug untuk areal pemukiman dan industry. Terjadi kerusakan lingkungan secara massif dimana-mana.

     Dalam isu lingkungan hidup kita sering bersikap ambivalen. Senang membuat aneka gerakan dan retorika bertema peduli lingkungan hidup. Bila perlu memproduksi slogan-slogan bak pahlawan Bumi. Namun, praktek keseharian tak tergambar kecintaan terhadap lingkungan hidup. Dari yang terlihat sepele, misalnya penggunaan tisu. Nyaris dimana pun, tisu mudah kita temukan. Di dalam kantong, tas, dompet, meja restoran hingga di toilet, tisu sangat eksis. Sifatnya yang praktis, mudah didapat, pun harga murah, membuat tisu menjadi barang multi purpose menggantikan sapu tangan dan kain serbet. Namun, dibalik kemudahan dan ‘kenyamanan’ yang ditawarkan tisu, ada ironi besar. Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas) yang berasal dari kayu pohon hasil penebangan hutan. Jika saja dalam sehari, separuh penduduk Indonesia menggunakan ½ gulung tisu, artinya butuh sekitar 100 juta gulungan tisu per hari. Bila 1 gulungan tisu memiliki berat 200 gram, dalam sehari tisu yang dipakai seberat 20.000 Ton. Bisa dibayangkan berapa jumlah pohon harus ditebang, berapa hektar hutan mesti digunduli bila 1 Ton pulp butuh 5 m3 kayu bulat. Dalam catatan Kementerian Kehutanan, hutan di Indonesia menyusut 1,5 juta hektar pertahun. Padahal berbicara hutan bukan soal pohon semata, namun semua spesies makhluk hidup yang terkait, termasuk fauna. Hilangnya hutan berarti hilangnya kehidupan fauna di sana. Hilangnya hutan juga mengundang aneka macam bencana, seperti banjir dan tanah longsor, dengan korban jiwa dan harta yang tak terkira. Ancaman lain eliminasi hutan adalah hilangnya sumber air di dalam tanah. Disebabkan tiadanya lagi yang berfungsi sebagai penangkap dan penyimpan air. Lantas manusia terancam krisis air. Contoh nyata di Pulau Jawa, hutan yang tersisa tak lebih dari 5 % dari total luas pulau. Banyak wilayah di Jawa mulai defisit air dan kekeringan saban tahun, akibat hilangnya hutan. Padahal air merupakan sumber kehidupan di Bumi. Tak ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air. Namun begitu, perilaku harian kita pun tidak arif terhadap air.

     Orang jarang berpikir terhadap ancaman krisis air. Apalagi di zaman serba pencitraan dan senang dapat ‘wah’ seperti sekarang. Perilaku boros air menjadi tumbal kehidupan masa kini. Sering kita saksikan betapa mudahnya orang menjadi risih manakala mobilnya terkena noda debu barang sedikit. Saban hari mobil mesti dicuci, baik di rumah maupun di tempat pencucian. Alangkah sayangnya melihat air disemprotkan nyaris tiada putus selama 15 menit hingga setengah jam untuk sekali cuci sebuah mobil. Kubikan meter air bersih hilang demi memelihara nafsu ‘pencitraan’. Seharusnya tidak perlu berperilaku berlebihan seperti itu. Bila mobil terkena debu jalanan, alangkah bijaknya bila hanya dibersihkan pakai lap. Kalaupun butuh air bisa menggunakan ember kecil sekedar membasahi lap. Kecuali mengaku setiap hari mesti menyeberangi rawa-rawa atau medan berlumpur ala off roader. Penggunaan air tanah yang tidak bijak tersebut, diperparah dengan disia-siakannya air permukaan, misalnya sungai. Sudah bergenerasi bangsa ini menganggap sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Segala sampah dibuang ke sungai. Limbah industri dan rumah tangga pun disalurkan ke sungai. Entah nalar apa yang mendasari bahwa sungai sama dengan tempat sampah. Padahal sungai sumber kehidupan aneka spesies yang hidup didalamnya, bahkan diantaranya menjadi pangan manusia. Sungai pun sejatinya merupakan cadangan air permukaan bagi kehidupan manusia. Nyaris sebagian besar sungai di Indonesia tercemar dan tak layak dikonsumsi.  

     Ancaman lain terhadap kehidupan adalah menumpuknya bahan-bahan yang tak mudah terurai di alam, plastik dan styrofoam contohnya. Gaya hidup masa kini penyumbang terbesar penumpukan bahan-bahan yang tak ramah lingkungan tersebut. Makanan zaman sekarang pembungkusnya pakai styrofoam, belanja di pusat perbelanjaan pakai bungkus plastik. Daun pisang dan jati sebagai pembungkus makanan sudah dianggap ketinggalan, begitupun masih rendah kesadaran berbelanja pakai kantong sendiri yang bisa dipakai berulang. Harap tahu saja, alam butuh ratusan tahun untuk menguraikan plastic, bahkan styrofoam tidak bisa terurai di alam.

       Berbicara lingkungan hidup tidak mesti muluk-muluk. Faktor terpenting dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup adalah perilaku keseharian yang arif terhadap lingkungan. Mengubah gaya hidup dengan mengurangi penggunaan tisu, styrofoam, plastik dan air sudah berandil besar bagi penyelamatan lingkungan. Membiasakan memakai sapu tangan, daun pisang dan lap ternyata sudah ikut menyelamatkan lingkungan hidup. 

Alienasi Rakyat dan Wakilnya

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di Sinar Harapan, Medio: Mei 2014

Opini Saya di SINAR HARAPAN, Medio: Mei 2014

          Partisipasi politik rakyat dalam kadar minimal sudah ditunaikan tanggal 9 April yang lalu. Menurut data Komisi Pemilihan Umum, tak kurang dari 185 juta rakyat Indonesia – dari total 235 juta populasi – tercatat dalam daftar pemilih. Namun, berdasar hasil survey perhitungan cepat yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilu legislatif hanya 75,3 persen dan yang tidak memilih atau golput sebanyak 24,7 persen. Memang, tidak semua dari sejumlah 24,7 persen itu dikarenakan alasan “ideologis” sehingga tak menggunakan hak pilihnya. Halangan teknis tak jarang turut menyumbang angka golput itu. Seseorang bisa saja tidak terdaftar dalam daftar pemilih lantas malas mengurusnya atau tak punya cukup waktu untuk itu. Di luar kendala teknis,, angka golput yang mencapai 24,7 persen cukup merisaukan. Itu merupakan angka golput tertinggi dalam sejarah pemilu di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1955!
Meski secara ideal, tindakan golput mencerminkan minimnya sikap partisipatif dan tanggung jawab terhadap nasib bangsa 5 tahun ke depan, namun tak serta merta pula pilihan untuk tidak memilih lantas bisa dipersalahkan. Tindakan menggolputkan diri berangkat dari rasa kecewa yang kronis terhadap tingkah laku para pemimpin dan elit-elit politik yang selama ini kerap berbuat yang tak pantas. Jagad perpolitikan tanah air sangat diwarnai dengan polutan demokrasi dalam wujud perilaku korupsi elit politik yang duduk di berbagai lembaga negara serta lembaga perwakilan rakyat. Selain korupsi, para wakil rakyat belum mampu menunjukkan etos kerja dan kinerja seperti yang diharapkan, ini tercermin dari rendahnya daftar presensi kehadiran di sidang dan rapat-rapat. Kalau toh hadir di ruang sidang, tak jarang waktunya justru dihabiskan untuk tidur. Ujungnya, produktifitas para wakil rakyat terkait fungsi legislasi masih amat rendah. Sebagai gambaran, dari target 76 RUU dalam Prolegnas 2013, sepanjang masa sidang I tahun 2013-2014, hanya 15 RUU yang berhasil mereka sahkan. Sedangkan pada masa sidang II, DPR baru membahas 33 RUU. Celakanya, itu pun baru pada tahap pembicaran tingkat pertama. Selain meruyaknya kasus korupsi dan rendahnya etos kerja serta kinerja wakil rakyat, publik kerap dibuat jengah dengan aksi foya-foya uang negara di kalangan wakil rakyat. Meski banyak pihak kerap menyuarakan tak efektifnya “budaya” kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, nyatanya komisi- komisi di DPR tetap bergeming.   OPINIKU di Sinar Harapan 3 Mei 2014.-2
Nah, gambaran buruk wakil rakyat dan elit politik tadi telah “mendapat hukuman” dalam pemilu 9 April yang lalu. Wujudnya tercermin dengan tingginya angka golput. Sebagian masyarakat merasa “lelah” menyaksikan segala anomali para wakil rakyat di berbagai tingkatan. Rasa “lelah” itu lantas bertransformasi dalam wujud apatisme, tidak peduli dan ketiadaan trust lagi. Selama ini rakyat merasa hanya sebagai alat demokrasi semata dengan kedudukan sebagai “donatur” suara di TPS-TPS. Seusai rakyat memberikan suaranya, para “resipien” suara rakyat justru tak peka apa yang dimaui rakyat. Mereka terlampau asyik dengan dunianya sendiri: dunia elit!. Apatisme sebagaian masyarakat dalam wujud golput merupakan kulminasi dari rasa ketidakberartian (meaninglessness), ketidakmenentuan (normlessness) hingga keterasingan (isolation). Rakyat merasa teralienasi secara politik ditengah permainan politik para elit. Dalam bahasa Yinger (1973), alienasi politik rakyat merupakan bentuk kehilangan keterhubungan (loss of a relationship) rakyat terhadap para elit politik. Rakyat merasa segala keluh kesah dan aspirasinya tak terwakili lagi oleh para wakilnya di parlemen, sehingga rakyat merasa tidak perlu lagi berpartispasi dalam menentukan arah politik bangsa (loss of participation). Kendali politik berbangsa dan bernegara sepenuhnya berada di tangan elit yang telah berjarak dengan aspirasi rakyat; rakyat merasa kehilangan kemampuan mengendalikan (loss of control) dalam setiap putusan politik.
Rasa teralienasi rakyat dalam proses dan putusan politik negeri ini harus segera disikapi dengan perubahan perilaku para wakil rakyat yang telah terpilih pada pileg tanggal 9 April yang lalu. Perubahan perilaku wakil rakyat yang terpilih nantinya, dalam tataran minimal justru untuk kepentingan para wakil rakyat itu sendiri. Perubahan sikap itu paling tidak bisa menghindarkan para wakil rakyat dari aksi cibiran, cemoohan dan umpatan rakyat yang kerap merasa dibohongi. Dalam ranah yang lebih konseptual, perubahan perilaku wakil rakyat dan elit politik ke arah yang lebih baik, mampu meningkatkan legitimasi semua proses dan produk politik yang dihasilkan.
Rasa teralienasi rakyat secara politik bila tak tertangani akan berakibat pada penarikan diri rakyat (withdrawl) terhadap segala aktivitas politik negara. Kedua, akan menumbuhkan rasa tak percaya secara politik (political trust) yang pada akhirnya menggerus terhadap dukungan keberlanjutan proses politik negara (political support and political sustainability).
Segala anomali wakil rakyat dan elit politik yang lalu, hendaknya tak terulang lagi di periode 2014-2019 (dan juga periode-periode berikutnya). Perubahan perilaku itu hendaknya diwujudkan dalam beberapa tindakan nyata ke depannya. Minimal: jangan pernah lagi terlibat kasus korupsi; tingkatkan etos kerja dan kinerja sesuai dengan tugas dan fungsinya; jangan suka mengumbar hobi “plesiran” ke luar negeri yang minim manfaat dan memakai uang negara; integritas pribadi dan keteladanan mesti dirawat. Bila perubahan itu tak kunjung dilakukan, rakyat kembali akan merasa asing terhadap para wakilnya dan menganggap mereka bak “alien” dari negeri antah berantah.

Link: http://sinarharapan.co/index.php/news/read/140503166/Alienasi-Rakyat-dan-Wakilnya-span-span-.html


Tentang Blog Ini

Saya bukanlah tipe orang yang bisa tidur nyenyak dikala negeri ini rakyatnya masih banyak yang diperlakukan tidak adil secara sosial, politik dan hukum. Saya tidak kuasa menutup mata dan telinga, manakala diskriminasi dan kesewenang-wenangan masih merajalela. Berisi sedikit tulisan tentang banyak hal yang menjadi interes dan menarik minat saya untuk menuliskannya. Saya sisipkan pula beberapa arsip artikel karya saya yang termuat di media massa. Hanya sedikit yang saya unggah di blog ini (dari sekian banyak yang telah saya tulis). Pilihannya yang paling: impresif, menarik, berpengaruh dan memiliki nilai strategis yang saya tampilkan di blog ini. Bila ingin melihat karya saya yang lain, yang kental dengan perspektif Budaya (baca: sastra), silahkan berkunjung ke: danangprobotanoyo98.blogspot.com atau Perspektif Budaya Danang Probotanoyo. Semoga Bermanfaat Bila ingin berinteraksi dengan Saya lebih intens, silahkan ke : danangprobotanoyo@gmail.com

Cacah Tamu

  • 21.257 hits

Kunjungan

Asal Negara Tetamu

free counters

Sebaran Tetamu

Map

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Klik tertinggi

  • Tidak ada