Oleh: Danang Probotanoyo
Terjadi banjir dimana-mana. Jakarta, sebagian pantai utara Pulau Jawa hingga Manado tergenang air bak lautan. Puluhan ribu orang menjadi pengungsi, belasan lainnya meninggal, kerugian materi mencapai triliunan rupiah. Kita tak bisa semata-mata berdalih ini akibat cuaca, ini bencana ekologis! Alam telah kita eksploitasi secara serampangan. Hutan ditebangi pohonnya, situ dan rawa kita urug untuk areal pemukiman dan industry. Terjadi kerusakan lingkungan secara massif dimana-mana.
Dalam isu lingkungan hidup kita sering bersikap ambivalen. Senang membuat aneka gerakan dan retorika bertema peduli lingkungan hidup. Bila perlu memproduksi slogan-slogan bak pahlawan Bumi. Namun, praktek keseharian tak tergambar kecintaan terhadap lingkungan hidup. Dari yang terlihat sepele, misalnya penggunaan tisu. Nyaris dimana pun, tisu mudah kita temukan. Di dalam kantong, tas, dompet, meja restoran hingga di toilet, tisu sangat eksis. Sifatnya yang praktis, mudah didapat, pun harga murah, membuat tisu menjadi barang multi purpose menggantikan sapu tangan dan kain serbet. Namun, dibalik kemudahan dan ‘kenyamanan’ yang ditawarkan tisu, ada ironi besar. Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas) yang berasal dari kayu pohon hasil penebangan hutan. Jika saja dalam sehari, separuh penduduk Indonesia menggunakan ½ gulung tisu, artinya butuh sekitar 100 juta gulungan tisu per hari. Bila 1 gulungan tisu memiliki berat 200 gram, dalam sehari tisu yang dipakai seberat 20.000 Ton. Bisa dibayangkan berapa jumlah pohon harus ditebang, berapa hektar hutan mesti digunduli bila 1 Ton pulp butuh 5 m3 kayu bulat. Dalam catatan Kementerian Kehutanan, hutan di Indonesia menyusut 1,5 juta hektar pertahun. Padahal berbicara hutan bukan soal pohon semata, namun semua spesies makhluk hidup yang terkait, termasuk fauna. Hilangnya hutan berarti hilangnya kehidupan fauna di sana. Hilangnya hutan juga mengundang aneka macam bencana, seperti banjir dan tanah longsor, dengan korban jiwa dan harta yang tak terkira. Ancaman lain eliminasi hutan adalah hilangnya sumber air di dalam tanah. Disebabkan tiadanya lagi yang berfungsi sebagai penangkap dan penyimpan air. Lantas manusia terancam krisis air. Contoh nyata di Pulau Jawa, hutan yang tersisa tak lebih dari 5 % dari total luas pulau. Banyak wilayah di Jawa mulai defisit air dan kekeringan saban tahun, akibat hilangnya hutan. Padahal air merupakan sumber kehidupan di Bumi. Tak ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air. Namun begitu, perilaku harian kita pun tidak arif terhadap air.
Orang jarang berpikir terhadap ancaman krisis air. Apalagi di zaman serba pencitraan dan senang dapat ‘wah’ seperti sekarang. Perilaku boros air menjadi tumbal kehidupan masa kini. Sering kita saksikan betapa mudahnya orang menjadi risih manakala mobilnya terkena noda debu barang sedikit. Saban hari mobil mesti dicuci, baik di rumah maupun di tempat pencucian. Alangkah sayangnya melihat air disemprotkan nyaris tiada putus selama 15 menit hingga setengah jam untuk sekali cuci sebuah mobil. Kubikan meter air bersih hilang demi memelihara nafsu ‘pencitraan’. Seharusnya tidak perlu berperilaku berlebihan seperti itu. Bila mobil terkena debu jalanan, alangkah bijaknya bila hanya dibersihkan pakai lap. Kalaupun butuh air bisa menggunakan ember kecil sekedar membasahi lap. Kecuali mengaku setiap hari mesti menyeberangi rawa-rawa atau medan berlumpur ala off roader. Penggunaan air tanah yang tidak bijak tersebut, diperparah dengan disia-siakannya air permukaan, misalnya sungai. Sudah bergenerasi bangsa ini menganggap sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Segala sampah dibuang ke sungai. Limbah industri dan rumah tangga pun disalurkan ke sungai. Entah nalar apa yang mendasari bahwa sungai sama dengan tempat sampah. Padahal sungai sumber kehidupan aneka spesies yang hidup didalamnya, bahkan diantaranya menjadi pangan manusia. Sungai pun sejatinya merupakan cadangan air permukaan bagi kehidupan manusia. Nyaris sebagian besar sungai di Indonesia tercemar dan tak layak dikonsumsi.
Ancaman lain terhadap kehidupan adalah menumpuknya bahan-bahan yang tak mudah terurai di alam, plastik dan styrofoam contohnya. Gaya hidup masa kini penyumbang terbesar penumpukan bahan-bahan yang tak ramah lingkungan tersebut. Makanan zaman sekarang pembungkusnya pakai styrofoam, belanja di pusat perbelanjaan pakai bungkus plastik. Daun pisang dan jati sebagai pembungkus makanan sudah dianggap ketinggalan, begitupun masih rendah kesadaran berbelanja pakai kantong sendiri yang bisa dipakai berulang. Harap tahu saja, alam butuh ratusan tahun untuk menguraikan plastic, bahkan styrofoam tidak bisa terurai di alam.
Berbicara lingkungan hidup tidak mesti muluk-muluk. Faktor terpenting dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup adalah perilaku keseharian yang arif terhadap lingkungan. Mengubah gaya hidup dengan mengurangi penggunaan tisu, styrofoam, plastik dan air sudah berandil besar bagi penyelamatan lingkungan. Membiasakan memakai sapu tangan, daun pisang dan lap ternyata sudah ikut menyelamatkan lingkungan hidup.